Pekerja Pertamina Tolak Keputusan Menteri BUMN
Serikat Pekerja Pertamina Patra Wijayakusuma (SPP.PWK) Pertamina Refinery Unit IV Cilacap dengan tegas menolak pembentukan Holding dan Subholding PT. Pertamina (persero) yang mengarah pada upaya privatisasi melalui IPO (Initial Public Offering) karena dapat mengancam kedaulatan energi nasional. Pernyataan sikap ini terungkap dalam aksi damai yang berlangsung disekitar gedung head Office Pertamina RU IV Cilacap, Jumat (19/6) sore. Aksi melibatkan puluhan pekerja RU IV anggota SPP.PWK.
"Undang - undang BUMN nomor 19 tahun 2003 pasal 17 jelas menyatakan Persero yang tidak dapat diprivatisasi. Berikutnya UU Migas nomor 22 tahun 2001 Bab III pasal 4 juga tegas menyatakan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan" tegas Sekretaris Jenderal SPP.PWK Dwi Jatmoko membacakan pernyataan sikap.
Menurutnya, hasil RUPS PT. Pertamina tanggal 12 Juni 2020, berdasarkan salinan keputusan Menteri BUMN, menetapkan perubahan dengan pengurangan struktur organisasi, dari semula 11 orang menjadi 6 orang. "Ini bisa jadi pintu masuk kapitalis untuk merongrong kedaulatan energi nasional" imbuhnya.
Direktorat Operasional yang sebelumnya ada di Pertamina akan masuk ke dalam beberapa subholding yang telah dibentuk, yaitu Subholding Upstream, Subholding Refinery & Petrochemical, Subholding Commercial & Trading, Subholding Power and New & Renewable Energy, Subholding Gas, serta Shipping Company yang tertuang di dalam Surat Keputusan Nomor Kpts-lB/COOOO/2O2O-SO tanggal 12 Juni 2020 tentang Struktur Organisasi Dasar PT Pertamina (Persero).
SPP.PWK yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyayangkan adanya perubahan struktur organisasi dasar tersebut karena tanpa adanya komunikasi antara wakil pekerja (FSPPB) dan perusahaan sesuai dengan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) VII Periode 2019—2021 Pasal 7 Ayat (7) dan Ayat (8).
Pembentukan holding dan subholding dilakukan secara tergesa-gesa di tengah triple shock yang sedang melanda Pertamina, seperti melemahnya harga minyak dunia, tingginya nilai tukar dolar, dan pandemi COVlD-19 yang menyebabkan penurunan volume produksi dan penjualan produk Pertamina.
Yang lebih parah karena katanya struktur organisasi holding dan subholding yang telah ditetapkan sebagian diduduki oleh profesional yang belum memiliki pengalaman di bidang migas sehingga kinerjanya masih patut dipertanyakan. Selain itu, belum adanya kejelasan terkait dengan portofolio unit operasi subholding, termasuk status pekerja PT Pertamina (Persero) yang saat ini berada di subholdlng.
Sementara usai aksi dan doa bersama, Ketua Umum SPP.PWK Titok Dalimunthe mengatakan bahwa upaya-upaya mewujudkan tuntutan pekerja adalah dengan menggelar berbagai aksi di seluruh sentra bisnis Pertamina, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Katanya, saat ini19 SP di bawah naungan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu melakukan aksi bergelombang untuk mengubah kebijakan dari Menteri BUMN. "Kalau tuntutan pekerja tidak terealisasi, maka akan berlanjut terus dengan intensitas yang lebih tinggi. Kami juga sedang melakukan upaya hukum untuk menggugurkan keputusan Menteri BUMN dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Mahkamah Kontitusi" tegas Titok. #
"Undang - undang BUMN nomor 19 tahun 2003 pasal 17 jelas menyatakan Persero yang tidak dapat diprivatisasi. Berikutnya UU Migas nomor 22 tahun 2001 Bab III pasal 4 juga tegas menyatakan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan" tegas Sekretaris Jenderal SPP.PWK Dwi Jatmoko membacakan pernyataan sikap.
Menurutnya, hasil RUPS PT. Pertamina tanggal 12 Juni 2020, berdasarkan salinan keputusan Menteri BUMN, menetapkan perubahan dengan pengurangan struktur organisasi, dari semula 11 orang menjadi 6 orang. "Ini bisa jadi pintu masuk kapitalis untuk merongrong kedaulatan energi nasional" imbuhnya.
Direktorat Operasional yang sebelumnya ada di Pertamina akan masuk ke dalam beberapa subholding yang telah dibentuk, yaitu Subholding Upstream, Subholding Refinery & Petrochemical, Subholding Commercial & Trading, Subholding Power and New & Renewable Energy, Subholding Gas, serta Shipping Company yang tertuang di dalam Surat Keputusan Nomor Kpts-lB/COOOO/2O2O-SO tanggal 12 Juni 2020 tentang Struktur Organisasi Dasar PT Pertamina (Persero).
SPP.PWK yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyayangkan adanya perubahan struktur organisasi dasar tersebut karena tanpa adanya komunikasi antara wakil pekerja (FSPPB) dan perusahaan sesuai dengan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) VII Periode 2019—2021 Pasal 7 Ayat (7) dan Ayat (8).
Pembentukan holding dan subholding dilakukan secara tergesa-gesa di tengah triple shock yang sedang melanda Pertamina, seperti melemahnya harga minyak dunia, tingginya nilai tukar dolar, dan pandemi COVlD-19 yang menyebabkan penurunan volume produksi dan penjualan produk Pertamina.
Yang lebih parah karena katanya struktur organisasi holding dan subholding yang telah ditetapkan sebagian diduduki oleh profesional yang belum memiliki pengalaman di bidang migas sehingga kinerjanya masih patut dipertanyakan. Selain itu, belum adanya kejelasan terkait dengan portofolio unit operasi subholding, termasuk status pekerja PT Pertamina (Persero) yang saat ini berada di subholdlng.
Sementara usai aksi dan doa bersama, Ketua Umum SPP.PWK Titok Dalimunthe mengatakan bahwa upaya-upaya mewujudkan tuntutan pekerja adalah dengan menggelar berbagai aksi di seluruh sentra bisnis Pertamina, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Katanya, saat ini19 SP di bawah naungan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu melakukan aksi bergelombang untuk mengubah kebijakan dari Menteri BUMN. "Kalau tuntutan pekerja tidak terealisasi, maka akan berlanjut terus dengan intensitas yang lebih tinggi. Kami juga sedang melakukan upaya hukum untuk menggugurkan keputusan Menteri BUMN dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Mahkamah Kontitusi" tegas Titok. #
No comments